Maaf Ranieri, Bisnis Lebih Penting


“ Tidak akan ada air mata jika Leicester nanti terdegradasi. Mereka adalah tim kedua bagi semua orang tapi sekarang tidak lagi dengan pemecatan Ranieri ini”
Pendapat Jamie Carragher, bek legendaris Liverpool ini rasanya mewakili perasaan banyak orang saat membaca berita pemecatan Claudio Ranieri sebagai arsitek Leicester City.
Ya, seburuk-buruknya performa Leicester musim ini, pemecatan Ranieri tetap saja dianggap sebagai tindakan tidak pantas bila mengingat jasa-jasa manager asal Italia itu pada Leicester City.
Datang ke King Stadium, kandang Leicester pada awal musim 2015/2016, The Foxes yang musim sebelumnya hanya bertarung menghindari degradasi berubah status menjadi tim pemburu gelar juara Premier League Inggris.
Kisah Cinderella Ranieri bersama Leicester dalam memburu titel juara Liga Inggris pertama dalam sejarah klub tersebut sontak menjadi perhatian publik penggemar sepakbola dunia.
Saking besarnya atensi pada kejutan Leicester, Mauricio Pochettino, Manager Spurs yang menjadi rival Leicester dalam perebutan titel juara sampai memandang bahwa semua klub dan penggemarnya bersatu padu mendukung Leicester dan berharap Spurs gagal menghadang The Foxes mewujudkan kisah paling hebat dalam sejarah sepakbola Inggris bahkan mungkin dunia di era sepakbola tahun 2000-an.
Publik menyukai kisah-kisah nan dramatis layaknya kisah Cinderella yang mengangkat kisah seorang wanita biasa menjelma menjadi putri kerajaan saat dipersunting sang Pangeran.
Benar saja, Spurs pada akhirnya gagal menahan laju Leicester merengkuh trofi juara Premier League Inggris.
Ranieri mengantar Leicester menjadi juara Liga Inggris kali pertama dalam sejarah klub tersebut.

Euforia dan romantisme langsung menyeruak.
Ranieri yang akhirnya memenangkan juara liga domestic pertamanya bersama sebuah klub mengikrarkan cinta sejatinya pada Leicester dan mempertimbangkan untuk mengakhiri karir kepelatihannya di klub tersebut.
Setali tiga uang, manajemen klub pun menyatakan siap untuk memperpanjang masa bakti pria Italia itu di King Stadium.
Kepergian N’ Golo Kante , gelandang andalan mereka ke Chelsea tidak sampai menciptakan bedol desa karena beberapa pemain kunci tetap bertahan untuk merajut kisah manis lain bersama Ranieri.
Jamie Vardy, Riyad Mahrez, Wes Morgan dan Kasper Schemeichel memilih tetap berada di kubu The Foxes.
Musim baru dimulai dengan konfirmasi target Ranieri untuk setidaknya membawa Leicester berada di zona Eropa atau paling buruk berada dalam 10 besar klasemen.
Meski bertatus juara bertahan, Ranieri cukup realistis bahwa pada musim yang baru klub-klub lawan akan lebih mewaspadai anak asuhnya sehingga perjalanan fantastis musim 2015/2016 sangat sulit untuk diulangi.
Ranieri dan tim sesungguhnya sudah memulai musim 2016/2017 dengan cara pandang yang tepat yaitu tidak jumawa sekaligus bisa mengukur diri terhadap potensi pencapaian di akhir musim.
Namun kenyataan kemudian tidak selalu berjalan sesuai rencana.
Leicester memang mendapati musim berjalan lebih berat sesuai prediksi mereka namun tentu berada di posisi 17 alias menjadi calon klub yang terdegradasi saat musim sudah memasuki akhir Februari tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Posisi 10 besar yang jadi target Ranieri jauh panggang dari api.
Berbagai macam formasi mulai dari 4-4-2 yang jadi andalan musim lalu sampai 4-2-3-1 dan 4-3-1-2 dijajal pria berjuluk The Tinkerman ini.
Apa daya, Leicester tidak pernah sanggup mengulang performa menakjubkan musim sebelumnya.
Leicester terpuruk dan Ranieri menjadi korban dengan keputusan pemecatan.
Keputusan yang lantas mengundang reaksi dari dunia sepakbola dimana kebanyakan mengecam dan menyayangkan.
Ranieri memang bisa dianggap gagal mempertahankan performa bagus Leicester musim lalu dan jika terus dibiarkan berpotensi membawa The Foxes degradasi.


Kondisi degradasi inilah yang sangat ditakutkan manajemen Leicester.
Degradasi akan membawa nilai bisnis Leicester sebagai merk sebuah klub turun dan otomatis berpengaruh pada keuangan yang masuk.
Bagaimanapun klub kini sudah menjadi instrument bisnis dalam sepakbola modern dan untuk itu sebuah klub harus berada di sebuah etalase terbaik di tengah pasar.
Premier League sebagai liga domestic paling populer diseluruh dunia jelaslah merupakan etalase terbaik untuk memasarkan sebuah klub.
Atas dasar inilah romantisme kisah hebat yang ditorehkan Ranieri bersama Leicester musim lalu menjadi tidak berarti lagi.
Manajemen dihadapkan pada pilihan mempertahankan seseorang yang sudah berjasa teramat besar bagi sejarah klub ataukah mendahulukan pertimbangan bisnis untuk keberlangsungan klub itu sendiri?
Kita semua tahu bahwa manajemen Leicester memilih mengesampingkan sentimen pribadi.
“Ini menjadi keputusan paling sulit yang harus kami ambil sejak King Power mengambil alih Leicester City, tapi kami berkewajiban mengutamakan kepentingan jangka panjang klub diatas sentimen pribadi seberapa pun kuatnya” tegas Wakil Chairman Leicester, Aiyawatt Srivaddhanaprabha saat menyampaikan informasi pemecatan Ranieri.

Dari sisi bisnis, keputusan manajemen Leicester tidak bisa sepenuhnya disalahkan meski juga rasanya tetap patut dipertanyakan.
Ranieri sudah membuktikan dirinya mampu menghadirkan keajaiban dengan mengantar Jamie Vardy dkk menjuarai Liga Inggris musim lalu sehingga jika mau berandai-andai, pria Italia ini pun bisa saja menghadirkan keajaiban dengan meloloskan The Foxes dari jurang degradasi.
“Kalau kamu percaya satu hal, bekerja keraslah untuk mewujudkan hal itu” ucap Ranieri saat ditanya optimismenya terkait peluang Leicester bertahan di Premier League.
“Tidak ada yang membicarakan Cagliari di Serie A Italia saat kami selamat pada satu hari sebelum pertandingan terakhir musim 1990/1991” kenang Ranieri menguatkan optimismenya.
Ya, dengan jasa yang sedemikian besarnya, rasanya Ranieri pantas mendapatkan waktu lebih lama untuk berjuang mempertahankan Leicester di Premier League.
Bahkan jika kemudian harga yang harus dibayar dengan mempertahankan Ranieri adalah status Leicester benar-benar terdegradasi, publik masih akan menerimanya jika setelah itu Ranieri diberhentikan.
Hal ini diungkapkan oleh Tony Cottee, mantan pemain Leicester City.
“Ini seperti musim yang normal karena biasanya Leicester ada di papan bawah tidak jauh dari degradasi. Ranieri seharusnya diberi waktu lebih lama dan lebih dihormati. Jika Leicester terdegradasi barulah anda berterimakasih dan move on”
“Tidak akan ada yang bisa menghapus sejarah yang sudah dituliskan Ranieri” kata Jose Mourinho saat menyampaikan simpati atas pemecatan Ranieri.
Gelar Manager Terbaik FIFA Tahun 2016 adalah bukti sahih betapa Ranieri pantas mendapatkan apresiasi berupa kesempatan berjuang menyelamatkan Leicester dari ancaman degradasi sampai laga terakhir musim ini.
Gelar juara Liga Champions Zinedine Zidane bersama Real Madrid dan trofi Piala Eropa 2016 Fernando Santos bersama Portugal yang juga menjadi kejutan terbesar 2016 tidak mampu menandingi magis kisah heroik Ranieri saat menjuarai Liga Inggris bersama Leicester City.
Padahal dari makna kompetisi, Juara Liga Inggris yang berarti juara di Inggris jelas kalah makna dengan Juara Liga Champions atau Piala Eropa yang berarti juara di level Eropa bukan negara.
Tapi pada akhirnya bisnis adalah bisnis.
Manajemen Leicester lebih memilih melepas sosok yang sudah berjasa besar bagi mereka ketimbang melepas potensi pemasukan uang dari status klub yang berlaga di Premier League.
Manajemen The Foxes memilih dikecam penggemar dan publik sepakbola dunia daripada ditinggal pasar.
Maaf Ranieri, bisnis lebih penting.

Komentar