Momentum Bagi Messi dan Argentina Untuk Menjadi Juara Dunia (sebuah prediksi)

    Hasil gambar untuk lionel messi
Brazil 2014 memasuki puncaknya pada 13 Juli 2014 atau 14 Juli 2014 dini hari waktu Indonesia saat laga final mempertemukan Jerman melawan Argentina.
Duel klasik piala dunia tersaji kembali.
Final ketiga setelah 1986 dan 1990 yang mempertemukan keduanya.
Dan laga final yang akan memberikan bintang ketiga bagi Argentina.
Sebuah prediksi berani setelah kemenangan fantastis Jerman atas Brazil di fase semifinal.

Apa yang menjadi dasar analisa prediksi ini?
Mari kita ulas satu persatu.

Faktor Messi jelas menjadi faktor utama keberhasilan Argentina meraih juara.
Messi saat ini sudah jauh lebih siap untuk meraih gelar piala dunia bersama Argentina.
Banyak yang menyamakan kiprah Messi saat ini dengan kiprah Maradona pada piala dunia 1986 di Meksiko saat Maradona memimpin Argentina menjuarai piala dunia untuk kedua kalinya.
Saat memasuki piala dunia 1986 Maradona berusia 26 tahun dan ini sama dengan usia Messi saat memasuki piala dunia 2014 (meski pada akhir Juni Messi kemudian berulang tahun yang ke 27).
Kesamaan lainnya adalah pada nomor punggung dan ban kapten yang dikenakan keduanya.
Bahkan jika mengikutsertakan postur tubuh keduanya yang tidak tinggi, Messi tampak seperti kembaran Maradona dalam balutan seragam Argentina.
Aksi yang dipertontonkan Messi pun nyaris sama dengan yang dipertontonkan Maradona.
Messi nyaris seorang diri membawa Argentina lolos dari fase grup dengan selalu mencetak gol pada tiga laga fase grup dimana semua gol tersebut bernilai tiga poin.
Sebaliknya Maradona tampak dominan saat fase knock out khususnya sejak babak perempat final melawan Inggris dan babak semifinal melawan Belgia dimana Maradona mencetak semua gol bagi Argentina untuk meloloskan Argentina ke partai puncak.
Kesamaan lainnya? di partai puncak Argentinanya Messi dan Argentinanya Maradona beradu kekuatan dengan negara yang sama yaitu Jerman.
Anda tentu masih ingat siapa yang menjadi juara bukan?..Argentina 1986 bersama Maradona menekuk Jerman di benua Amerika...so...sejarah akan berulang saat Argentina 2014 bersama "sang titisan" bernama Messi menekuk Jerman di benua Amerika.

Mengenai benua Amerika ini juga menjadi tuah tersendiri bagi Argentina.
Tiga kali Argentina lolos ke final dan dua kali mereka berhasil menjadi juara.
Coba cermati, kedua gelar juara tersebut diraih saat final berlangsung di benua Amerika.
Final pertama berbuah gelar juara adalah pada tahun 1978 di Argentina yang memunculkan kisah heroik Mario Kempes saat menundukkan Belanda.
Gelar kedua hadir bersama Maradona pada gelaran piala dunia 1986 di Meksiko.
Jangan lupa bahwa setelah kemenangan atas Jerman di tahun 1986 itu, partai final piala dunia 1990 di Italia mempertemukan kembali Jerman dan Argentina.
Argentina masih bersama Maradona namun tampaknya tuah benua Amerika tidak terjadi disini karena laga final digelar di tanah Eropa, Italia.
Alhasil Jerman mengandaskan Argentina 1-0 lewat penalti Andreas Brehme lima menit jelang pertandingan berakhir.
Nah..partai final Jerman vs Argentina kali ini akan digelar di Brazil, benua Amerika.
Sudah bisa ketebak kan hasilnya?

Sekarang kita coba menganalisa prediksi ini dari sisi lain.
Laga Jerman vs Argentina sejatinya bukanlah laga yang banyak diprediksikan orang sebelum piala dunia digelar.
Bahkan ketika piala dunia sudah memasuki fase knock out, para pencinta bola dunia masih memandang Belanda, Jerman dan Brazil sebagai tiga tim yang pantas hadir di final.
Hal ini merujuk pada kapasitas Brazil sebagai tuan rumah, kematangan Jerman sebagai team spesialis turnamen dan kehebatan Belanda dengan format baru total football yang diusung Louis Van Gaal.
Argentina sendiri memasuki fase knock out dengan catatan kebintangan Messi di fase grup yang selalu mencetak gol dalam tiga laga dimana gol-gol tersebut bernilai kemenangan tiga poin.
Isu Messicentris menyeruak dan hal itu tidak dibantah.
"Kami akan membangun team untuk Messi" demikian Sabella berkomentar saat pertama kali ditunjuk untuk menangani Argentina.
Mentransformasi kekuatan Messi di Barcelona ke Argentina adalah fokus utama Sabella dalam membesut Argentina.
Alhasil Sabella tidak keberatan saat formasi 5-3-2 yang digunakannya di babak pertama dalam laga melawan Bosnia berubah menjadi 4-3-3 di babak kedua dan pada pertandingan selanjutnya.
Belakangan diketahui bahwa Messi yang mengusulkan perubahan tersebut.
Dan Sabella mau mengalah demi memberi kenyamanan bermain bagi Messi.

Dengan isu Messicentris tersebut, Argentina melewati satu persatu laga di fase knock out dengan efektif dan efisien.
Dikatakan demikian karena Argentina tidak pernah meraih kemenangan meyakinkan atas lawan-lawannya.
Argentina butuh sebuah umpan matang Messi ke Angel Di Maria pada menit akhir babak perpanjangan waktu untuk menghentikan perlawanan alot Swiss. Argentina 1 Swiss 0.
Di fase perempat final Belgia bahkan berhasil membuat Messi untuk pertama kalinya minim kontribusi dengan tidak membuat gol bahkan assist dalam sebuah pertandingan.
Meski demikian Messi masih terlibat dalam satu-satunya gol dalam pertandingan tersebut saat pergerakannya berujung pada umpan pantulan Di Maria kepada Gonzalo Higuain.
Skor tipis 1 - 0 bagi Argentina cukup untuk menyngkirkan kuda hitam dari Eropa itu.
Sampai akhirnya Belanda memaksa Argentina menjalani drama adu penalti pada fase semifinal.
Setelah bermain imbang tanpa gol, Sergio Romero menjadi pahlawan tim dengan mementahkan dua eksekusi penalti pemain Belanda.
Argentina menuju partai puncak melawan Jerman setelah dua kemenangan tipis dan satu drama adu penalti.
Prosesi perjalanan ke final seperti ini seakan-akan menapak tilas perjalanan Argentina 1986 yang selalu menang tipis saat melaju ke partai puncak dan hanya sekali menang dengan selisih dua gol saat melawan Belgia (1-0 vs Uruguay, 2-1 vs Inggris dan 2-0 vs Belgia).
Tidak menang telak tetapi efektif dan efisien untuk melaju ke partai puncak.
Satu catatan menarik lainnya adalah Argentina 1986 memiliki Jorge Valdano,Jorge Burruchaga  dan Nery Pumpido sebagai pemain yang mensupport Diego Maradona sedangkan Argentina 2014 memiliki Angel Di Maria, Gonzalo Higuain dan Sergio Romero saat Lionel Messi tidak maksimal.
Kesamaan yang identik bukan?

Jerman sendiri lolos ke final dengan penampilan yang terus memanas seperti diesel.
Puncaknya adalah saat mereka membantai tuan rumah Brazil dengan skor telak 7 - 1.
Kemenangan yang menempatkan mereka sebagai favorit di partai puncak melawan Argentina...sekaligus sebagai pertanda kegagalan Jerman.
Kok bisa?

Coba ingat kembali bagaimana sejarah Jerman saat ditangani Joachim Loew.
Tim ini selalu mengalami klimaks atau puncak penampilan bukan di saat yang tepat.
Dimulai pada piala eropa 2008 saat Loew memulai turnamen internasional pertama bersama Jerman.
Pada fase knock out di perempat final timnas Jerman menundukkan finalis piala eropa 2004 Portugal dengan skor tipis 3-2.
Puncak penampilan mereka terjadi saat laga semifinal melawan tim agresif Turki.
Turki yang kala itu ditangani Fatih Terim menjelma sebagai tim agresif yang menampilkan sepakbola menyerang tanpa kenal takut.
Dan Jerman dengan gagah berani menaklukkan tim tersebut.
Banyak pengamat mengatakan bahwa laga melawan Turki adalah laga terbaik Jerman pada pergelaran piala eropa 2008 itu.
Maka ketika Jerman bertemu Spanyol di final, mereka tampak kehilangan momentum dan takluk 1-0.

Kisah serupa terjadi lagi di piala dunia 2010 dan kali ini lebih tragis.
Jerman tampil luar biasa saat menaklukkan Inggris dengan skor telak 4-1 di fase perdelapan final.
Puncaknya saat Jerman membantai Argentina yang ditangani Maradona dengan skor telak 4-0 di fase perempat final.
Momentum kembali berlalu dan pada fase semifinal Jerman kembali takluk dari Spanyol dengan skor identik 1-0.

Piala eropa 2012 kembali menguatkan kecenderungan Jerman untuk kehilangan momentum setelah penampilan terbaik di waktu yang salah.
Pada fase perempat final Jerman membantai Yunani dengan skor telak 4-2 dan ini adalah jumlah gol terbanyak di fase tersebut, Jerman menjadi tim tersubur di fase ini.
Tampil trengginas di fase perempat final, Jerman kehilangan momentum lagi dan kali ini Italia yang menghadang mereka di fase semifinal dengan skor 2-1.

Maka saat Jerman bereuforia dengan kemenangan bersejarah atas tuan rumah Brazil lewat skor telak 7-1, peluang untuk Jerman kehilangan momentum seakan terbuka lebar.
Loew sepertinya belum mampu menemukan resep ampuh untuk mempertahankan momentum penampilan fantastis tim nya pada fase yang menentukan.

Dalam hal ini Argentina bersama Messi sedang berada dalam perjalanan menuju momentum puncaknya.

Messi akhirnya menemukan momentum yang tepat untuk berprestasi bersama timnas Argentina.
Tidak sekedar berprestasi bersama timnas, Messi juga berpeluang besar mengakhiri semua debat dan perbandingan dirinya dengan sang legenda Diego Maradona.
Messi..sehebat apapun dirinya tidak ada apa-apanya dihadapan gelar piala dunia 1986 yang diperjuangkan Maradona.
Dan Messi sedang dalam perjalanan mengakhiri cerita perbandingan di atas.
Yah...Messi sedang menapak tilas perjalanan Maradona merengkuh gelar juara piala dunia.

Faktor sejarah, faktor Messi dan sejumlah kesamaan identik dengan Maradona 1986, faktor psikologis tim Jerman yang berpotensi anti klimaks serta faktor tempat laga digelar akan menjadi pembeda pada akhir pertandingan.
Dan saat itu kita akan melihat Messi melakukan hal yang sama dengan Maradona pada tahun 1986.
Tampil sebagai kapten Argentina yang menerima trofi piala dunia dan mengangkatnya sebagai sang juara.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Fergie Time MU Menjadi Guardiola Time Di Tangan Man City