Kisah Tsubasa, Si Kancil Dan Pembinaan Usia Dini Sepakbola Indonesia
Entah apakah perumpamaan ini benar adanya atau tidak,
tetapi kisah Kapten Tsubasa dan Si Kancil memberikan gambaran perbedaan
perkembangan sepakbola Indonesia dan Jepang.
Konon anak-anak kecil di Jepang sengaja dikenalkan
dengan cerita dalam komik Kapten Tsubasa.
Kita semua tahu, kisah dalam komik itu mengumbar
teknik-teknik sepakbola yang “super mengkhayal” dan bisa dipastikan tidak akan
terjadi di dunia nyata.
Bahkan impian tokoh utamanya Kapten Tsubasa untuk
memainkan pertandingan sepakbola di ajang Piala Dunia bersama Jepang pun terasa
seperti impian sang pembuat komik.
Ya, impian yang dianggap mengada-ngada.
Sampai kemudian sejarah mencatat timnas Jepang
merasakan pertandingan di ajang Piala Dunia untuk kali pertama saat perhelatan
sepakbola terbesar di dunia itu berlangsung di Prancis tahun 1998.
Tentu tidak ada nama Kapten Tsubasa dalam timnas
Jepang saat itu, tetapi siapa yang menyangkal jika para pemain Jepang saat itu
juga adalah pembaca komik Kapten Tsubasa.
Hidestohi Nakata, salahsatu pemain Jepang yang
terbilang sukses di Eropa bersama AS Roma mengakui bahwa dirinya membaca
berkali-kali komik tersebut sampai menginspirasi permainannya.
Fakta bahwa Kapten Tsubasa digambarkan sebagai pemain
yang berposisi gelandang menyerang tampaknya benar-benar menginspirasi sejumlah
bintang sepakbola dunia yang berasal dari Jepang.
Sebutlah nama Hidetoshi Nakata, Shunsuke Nakamura,
Shinji Kagawa, Shinji Ono dan Keisuke Honda.
Lihat kesamaan mereka?
Mereka semua berposisi sebagai gelandang menyerang
alias sama dengan Kapten Tsubasa.
Jadi, jangan sepelekan bagaimana komik Kapten Tsubasa
menginspirasi sepakbola Jepang sampai hari ini.
Tercatat sejak mentas pertama kali di Piala Dunia
1998, Jepang terus konsisten berada dalam daftar negara-negara terbaik yang
mampu mengirimkan timnasnya tampil di panggung paling bergengsi dalam dunia
sepakbola itu.
Lalu apa kaitannya dengan kisah Si Kancil yang akrab
dengan cerita masa kanak-kanak anak Indonesia?
Mudah saja.
Kisah Si Kancil sekilas memang mengajarkan bahwa
seseorang itu harus pintar dan cerdas dalam menghadapi masalah.
Persoalannya kisah Si Kancil disalahartikan dari
menjadi pintar berubah menjadi “pintar-pintar” yang berkonotasi licik.
Belum ada penelitian resmi apakah kisah Si Kancil
menanamkan memori untuk selalu mencari jalan keluar terbaik (meski harus
berbohong) pada saat menghadapi situasi tertentu.
Jika kisah Kapten Tsubasa menginspirasi anak-anak
Jepang menjadi orang-orang yang membanggakan negara lewat pencapaian kinerja di
dunia sepakbola maka kisah Si Kancil (jika disalahartikan atau mungkin sudah
disalahartikan) secara tidak langsung menginspirasi generasi koruptor yang
memalukan negara.
Jika kita berbicara dalam ruang lingkup sepakbola, perbandingan
sederhana ini mengingatkan kembali betapa pentingnya pembinaan usia dini.
Tentu sudah bukan rahasia umum ketika timnas U19 era
Evan Dimas dkk meraih prestasi dan membanggakan bangsa ini, seturut itu pula
banyak suara-suara di media social yang meminta anak-anak penuh bakat ini
dijauhkan dari sepakbola dalam negeri yang dinilai tidak mampu jadi tempat
berkembang yang baik bagi bibit-bibit unggul ini.
Cukuplah generasi Kurniawan Dwi Julianto mempesona
tetapi tidak kunjung menghasilkan trofi juara.
Atau generasi Bambang Pamungkas hanya merasakan
status nyaris juara di AFF Cup.
Ada pemahaman bersama bahwa anak-anak (atau kita
sebut Remaja dalam kasus Evan Dimas) yang ditempa sejak dini untuk memahami
nilai-nilai kejujuran, motivasi untuk berhasil, semangat berkompetisi punya
peluang besar untuk menjadi bahan baku yang bagus untuk memgembangkan
persepakbolaan Indonesia di masa datang.
Jepang sudah membuktikannya.
Komik Kapten Tsubasa jelas hanya potongan puzzle
kecil dari sekian puzzle yang dibutuhkan untuk merealisasikan gambaran
sepakbola yang membanggakan bangsa.
Jepang memiliki potongan puzzle lain bernama program
pembinaan usia dini, kompetisi yang sehat, perangkat pertandingan yang
berkualitas sampai pada pengelolaan klub dan supporter yang professional.
Indonesia jelas sangat mungkin meniru langkah Jepang.
Toh, Jepang pun belajar merumuskan kompetisi
sepakbola dari Galatama (Liga Sepakbola Utama) milik Indonesia.
Atau mungkin Indonesia harus belajar menciptakan
komik fenomenal sekelas Kapten Tsubasa?
Komentar
Posting Komentar