Kisah Tsubasa, Si Kancil Dan Pembinaan Usia Dini Sepakbola Indonesia

Hasil gambar untuk captain tsubasa road to 2002
Entah apakah perumpamaan ini benar adanya atau tidak, tetapi kisah Kapten Tsubasa dan Si Kancil memberikan gambaran perbedaan perkembangan sepakbola Indonesia dan Jepang.
Konon anak-anak kecil di Jepang sengaja dikenalkan dengan cerita dalam komik Kapten Tsubasa.
Kita semua tahu, kisah dalam komik itu mengumbar teknik-teknik sepakbola yang “super mengkhayal” dan bisa dipastikan tidak akan terjadi di dunia nyata.
Bahkan impian tokoh utamanya Kapten Tsubasa untuk memainkan pertandingan sepakbola di ajang Piala Dunia bersama Jepang pun terasa seperti impian sang pembuat komik.
Ya, impian yang dianggap mengada-ngada.

Sampai kemudian sejarah mencatat timnas Jepang merasakan pertandingan di ajang Piala Dunia untuk kali pertama saat perhelatan sepakbola terbesar di dunia itu berlangsung di Prancis tahun 1998.
Tentu tidak ada nama Kapten Tsubasa dalam timnas Jepang saat itu, tetapi siapa yang menyangkal jika para pemain Jepang saat itu juga adalah pembaca komik Kapten Tsubasa.
Hidestohi Nakata, salahsatu pemain Jepang yang terbilang sukses di Eropa bersama AS Roma mengakui bahwa dirinya membaca berkali-kali komik tersebut sampai menginspirasi permainannya.
Fakta bahwa Kapten Tsubasa digambarkan sebagai pemain yang berposisi gelandang menyerang tampaknya benar-benar menginspirasi sejumlah bintang sepakbola dunia yang berasal dari Jepang.
Sebutlah nama Hidetoshi Nakata, Shunsuke Nakamura, Shinji Kagawa, Shinji Ono dan Keisuke Honda.
Hasil gambar untuk shunsuke nakamura
Lihat kesamaan mereka?
Mereka semua berposisi sebagai gelandang menyerang alias sama dengan Kapten Tsubasa.
Jadi, jangan sepelekan bagaimana komik Kapten Tsubasa menginspirasi sepakbola Jepang sampai hari ini.
Tercatat sejak mentas pertama kali di Piala Dunia 1998, Jepang terus konsisten berada dalam daftar negara-negara terbaik yang mampu mengirimkan timnasnya tampil di panggung paling bergengsi dalam dunia sepakbola itu.

Lalu apa kaitannya dengan kisah Si Kancil yang akrab dengan cerita masa kanak-kanak anak Indonesia?
Mudah saja.
Kisah Si Kancil sekilas memang mengajarkan bahwa seseorang itu harus pintar dan cerdas dalam menghadapi masalah.
Persoalannya kisah Si Kancil disalahartikan dari menjadi pintar berubah menjadi “pintar-pintar” yang berkonotasi licik.
Belum ada penelitian resmi apakah kisah Si Kancil menanamkan memori untuk selalu mencari jalan keluar terbaik (meski harus berbohong) pada saat menghadapi situasi tertentu.
Jika kisah Kapten Tsubasa menginspirasi anak-anak Jepang menjadi orang-orang yang membanggakan negara lewat pencapaian kinerja di dunia sepakbola maka kisah Si Kancil (jika disalahartikan atau mungkin sudah disalahartikan) secara tidak langsung menginspirasi generasi koruptor yang memalukan negara.
Jika kita berbicara dalam ruang lingkup sepakbola, perbandingan sederhana ini mengingatkan kembali betapa pentingnya pembinaan usia dini.

Tentu sudah bukan rahasia umum ketika timnas U19 era Evan Dimas dkk meraih prestasi dan membanggakan bangsa ini, seturut itu pula banyak suara-suara di media social yang meminta anak-anak penuh bakat ini dijauhkan dari sepakbola dalam negeri yang dinilai tidak mampu jadi tempat berkembang yang baik bagi bibit-bibit unggul ini.
Cukuplah generasi Kurniawan Dwi Julianto mempesona tetapi tidak kunjung menghasilkan trofi juara.
Atau generasi Bambang Pamungkas hanya merasakan status nyaris juara di AFF Cup.
Ada pemahaman bersama bahwa anak-anak (atau kita sebut Remaja dalam kasus Evan Dimas) yang ditempa sejak dini untuk memahami nilai-nilai kejujuran, motivasi untuk berhasil, semangat berkompetisi punya peluang besar untuk menjadi bahan baku yang bagus untuk memgembangkan persepakbolaan Indonesia di masa datang.
Jepang sudah membuktikannya.
Komik Kapten Tsubasa jelas hanya potongan puzzle kecil dari sekian puzzle yang dibutuhkan untuk merealisasikan gambaran sepakbola yang membanggakan bangsa.
Jepang memiliki potongan puzzle lain bernama program pembinaan usia dini, kompetisi yang sehat, perangkat pertandingan yang berkualitas sampai pada pengelolaan klub dan supporter yang professional.
Indonesia jelas sangat mungkin meniru langkah Jepang.
Toh, Jepang pun belajar merumuskan kompetisi sepakbola dari Galatama (Liga Sepakbola Utama) milik Indonesia.
Atau mungkin Indonesia harus belajar menciptakan komik fenomenal sekelas Kapten Tsubasa?

Komentar