Lebih Konsisten, Leicester City Pantas Jadi Juara Liga Inggris
Kalau pada awal musim 2015/2016 ada yang memprediksi
Leicester City menjadi juara Liga Inggris maka prediksi itu menjadi prediksi
paling berani yang pernah ada.
Keberhasilan anak asuh Claudio Ranieri bertenggger di
papan atas klasemen sebenarnya sudah merupakan kejutan bagi klub yang pada
musim sebelumnya justru berjuang untuk selamat dari juarang degradasi.
Bahkan ketika jelang pergantian tahun Leicester masih
setia berada di papan atas klasemen, belum terlalu banyak yang meyakini bahwa The
Foxes sungguh punya potensi menjadi juara.
Momen Boxing Day saat pergantian tahun dianggap
sebagai saat tepat untuk menilai kepantasan Leicester sebagai kandidat juara
liga Inggris.
Setiap tim melakoni jadwal padat dan biasanya tim-tim
kejutan rontok pada fase ini karena kedalaman skuad yang tidak sebaik tim-tim
elit.
Benar saja, dalam 3 laga padat beruntun sejak 26
Desember 2015, tidak sekalipun Leicester City meraih kemenangan.
Jamie Vardy dkk bahkan merasakan kekalahan kedua
mereka saat itu setelah takluk 0-1 di kandang Liverpool.
Saat bermain di kandang menjamu Manchester City,
Ranieri hanya mampu membawa Leicester meraih satu poin.
Dan puncaknya saat klub berjuluk The Foxes itu hanya
sanggup mengambil satu poin dari Bournemouth yang bermain dengan 10 pemain.
Tiga laga berlalu sejak Boxing Day dan Leicester
hanya mampu menambah 2 poin alias kehilangan 7 poin.
Kepantasan klub yang bermarkas di King Stadium itu
sebagai kandidat juara Liga Inggris mulai diragukan.
Ketidakmampuan anak asuh Ranieri meraih hasil
maksimal di tengah laga padat sempat memberi sinyal bahwa tim ini baru sebatas
memberi kejutan dan warna tersendiri dalam persaingan menuju gelar juara Liga
Inggris musim ini.
Lalu mengapa kemudian Leicester tetap menjadi juara Liga
Inggris?
Penurunan performa klub-klub elit dan membuat mereka
tidak konsisten meraih poin penuh menjadi salahsatu faktor mengapa Leicester
melaju dengan baik dipuncak klasemen.
Selain hancur leburnya performa Chelsea yang berujung
pada pemecatan Mourinho, penurunan perfoma paling mencolok adalah yang terlihat
pada Manchester City.
Sampai akhir Januari 2016, Manchester City adalah tim
yang masih bertarung ketat dengan Leicester dalam perebutan titel juara Liga
Inggris.
Pada periode tersebut, City hanya berjarak 2 poin
dengan Leicester di posisi puncak klasemen.
Petaka bagi perfoma City di Liga Inggris mulai hadir
setelah manajemen City mengumumkan Pep Guardiola sebagai manager baru musim
depan menggantikan Pellegrini.
Usai pengumuman tersebut, City kalah dalam sejumlah
laga penting bulan Februari.
City takluk dari Chelsea, Tottenham Spurs dan
Leicester City.
Yang paling menyakitkan, kekalahan tragis dari
Leicester dan Spurs yang jadi rival perebutan titel juara Liga Inggris terjadi
di kandang City.
“Kekalahan dari Leicester dan Tottenham menyingkirkan
kami dari gelar juara” Pellegrini mengakui kekalahan di kandang tersebut sangat
krusial.
Penurunan performa City perlahan-perlahan mengurangi
competitor Leicester di papan atas klasemen.
Manchester City boleh saja merupakan tim dengan lini
penyerangan terbaik.
Sampai jelang dua laga tersisa di akhir musim, 68 gol
yang dihasilkan City memberikan status bagi The Citizen sebagai tim tertajam di
Liga Inggris.
Masalahnya, kegagalan City mempertahankan gelar juara
Liga Inggris musim lalu sebenarnya sudah mengajarkan bahwa tajam di depan saja
tidak cukup jika lini pertahanan keropos.
Musim lalu anak asuh Pellegrini menjadi tim tertajam
dengan 83 gol tetapi yang menjadi juara adalah Chelsea, tim dengan pertahanan
terbaik yang hanya kebobolan 32 gol
berbanding 38 gol yang bersarang di gawang Joe Hart.
Masalah serupa masih terjadi di kubu City musim ini.
Sergio Aguero dkk adalah tim tertajam tetapi faktanya
mereka gagal meraih titel juara Liga Inggris.
Arsenal dan Tottenham Hotspurs sesungguhnya tim yang
tampak paling meyakinkan untuk menjadi juara Liga Inggris.
Jika City bermasalah dengan pertahanan mereka, tidak
demikian dengan Spurs.
Pochettino berhasil membawa Spurs berada di klasemen
empat besar dengan bekal tim dengan pertahanan terbaik setelah melakoni 36 laga
atau pekan dimana Leicester City memastikan diri sebagai juara.
Sayangnya performa Spurs tersebut gagal mengcopy paste rumus juara Chelsea musim
lalu.
Tanpa hingar bingar kejutan Leicester City musim ini,
keberadaan Spurs di posisi empat besar klasemen saat ini sebenarnya juga merupakan
sebuah kejutan.
Dari tim yang setiap musim hanya bertarung mengejar
tiket Liga Champions kemudian “naik level” mengejar gelar juara, Spurs pantas
disebut membuat kejutan bagi tim papan atas lainnya.
Sejak pekan kedelapan, tren Spurs terus menanjak naik
dari peringkat 8 dan terus berada di posisi empat besar klasemen.
Meski demikian, catatan Spurs dalam lima musim
terakhir saat mencapai posisi empat besar klasemen di pergantian tahun
menunjukkan bahwa klub ini bukan petarung gelar juara sesungguhnya.
Pada musim 2009/2010 dan 2011/2012, Spurs berada di
posisi empat besar dan tidak pernah mampu menaikkan pencapaian mereka sampai ke
tangga juara.
Hal yang sama terulang lagi musim ini.
The Lily Whites mampu menapaki posisi empat besar
klasemen bahkan mendekati puncak klasemen namun gagal mengakhirinya dengan
trofi juara.
Spurs sudah sedemikian dekat dengan tangga juara
namun tidak mampu konsisten tampil bagus jelang garis finish.
Hasil imbang kala ditahan West Brom 1-1, termasuk
kegagalan mempertahankan keunggulan dua gol saat ditahan imbang Chelsea yang
berujung pada hilangnya peluang menjadi juara sudah jadi gambaran bahwa Spurs
tidak sekonsisten Leicester.
Meski demikian kondisi Spurs diatas jelas lebih baik
daripada rival sekota mereka Arsenal.
Arsenal musim ini sejatinya adalah tim yang paling
siap menjadi juara karena “sudah disiapkan” sejak dua musim lalu.
Selama dua musim Arsene Wenger membawa Arsenal
menjuarai FA Cup sebagai pemanasan untuk menjadi juara yang sesungguhnya di
kancah Liga Inggris.
Musim ini, proyek juara itu ditandai dengan kehadiran
kiper senior Chelsea, Petr Cech.
Keberhasilan Cech mencapai rekor clean sheet di Liga
Inggris saat berada di bawah mistar gawang The Gunners mengkonfirmasi kebenaran
ucapan John Terry bahwa Cech adalah kiper yang mampu mengamankan poin krusial
dalam perburuan gelar juara.
Pantas kiranya jika Mourinho sampai meminta agar
Abramovich tidak menjual Cech ke klub kompetitor di Liga Inggris.
Kombinasi Cech dan Per Mertesacker di depannya
mengingatkan publik pada kombinasi Seaman dan Tony Adams di jantung pertahanan
Arsenal dulu.
Permasalahannya sama seperti Spurs, tangguh di
belakang saja ternyata tidak cukup.
Arsenal tidak punya kemampuan menembus gawang lawan
sebaik rival-rival di empat besar klasemen.
Dari semua penghuni empat besar klasemen sampai pekan
ke 36, The Gunners adalah tim dengan jumlah memasukkan gol paling sedikit.
Arsenal seperti sulit menemukan jalan untuk mencetak
gol ke gawang lawan.
Pada awal Maret 2016, Arsenal tercatat sebagai tim
paling sial karena 17 tendangan kearah gawang mereka dimentahkan oleh mistar
gawang.
Di periode yang sama, penyerang Arsenal Theo Walcott
dan Olivier Giroud memiliki persentase kegagalan memanfaatkan peluang yang
sangat buruk, Walcott 77% dan Giroud 68,4%.
Semua permasalahan diatas tidak dialami Leicester
City.
Meski bukan tim dengan pertahanan terbaik, anak asuh
Ranieri tercatat sebagai tim dengan pertahanan terbaik ketiga di Liga Inggris sampai
pekan ke 36 yang baru kemasukan 34 gol (sama dengan Arsenal).
Di lini depan, Leicester juga bukan tim tertajam
seperti Manchester City.
The Foxes adalah tim paling produktif ketiga dan itu
sudah sangat cukup mengantarkan mereka meraih titel juara Liga Inggris pertama
dalam sejarah mereka.
Keberadaan Jamie Vardy dalam deretan 3 penyerang
tertajam di Liga Inggris musim ini bersama Hary Kane dan Sergio Aguero adalah
representasi ketajaman lini depan Leicester.
Konsistensi Jamie Vardy mencetak gol berturut-turut
selama 11 pertandingan yang menjadi rekor baru di Liga Inggris adalah bentuk
lain representasi konsistensi anak asuh Ranieri.
Praktis dalam 36 laga yang berujung pada titel juara
Liga Inggris, Leicester memenangi 22 laga, 11 imbang dan hanya kalah 3 kali.
Artinya, secara statistic Leicester memang pantas
menjadi juara.
The Foxes adalah tim dengan jumlah kemenangan
terbanyak dan kekalahan paling sedikit diantara semua kontestan.
“Kami sudah sangat konsisten. Kami layak menjadi
juara” Andy King, pemain Leicester City sejak 2006 yang pernah merasakan
berlaga bersama klub itu di League Two Liga Inggris (Level Ketiga Kompetisi
Sepakbola di Inggris).
Konsistensi Leicester adalah kunci dan mereka
meraihnya saat tim-tim pesaing mengalami inskonsistensi dan penurunan performa.
John Terry, Kapten Chelsea mengamini hal tersebut “sepanjang
musim mereka terus memetik hasil”.
Leicester juga membuktikan mereka tim yang tidak
mengandalkan sosok bintang meski harus diakui sosok Jamie Vardy dan rekannya
Riyad Mahrez menjadi sosok yang paling menonjol.
Saat Vardy dipastikan absen karena kartu merah,
Leicester tetap mampu menang lewat gol dari pemain pelapis Vardy, Leonardo Ulloa.
“Setiap laga mereka berjuang satu sama lain. Mereka
layak jadi juara," Claudio Ranieri membeberkan semangat kolektivitas yang
dimiliki Leicester.
Perjuangan Leicester City yang musim lalu nyaris
terdegradasi dan kini berstatus sebagai Juara Liga Inggris selain menjadi
kejutan terbesar sepakbola musim ini juga mengajarkan bahwa segala sesuatunya
sangat mungkin untuk diperjuangkan dan dimenangkan.
Tim tanpa pemain mahal berstatus bintang itu kini
justru menjadi tim terbaik diantara sekian tim elit bertabur bintang yang ada
di Liga Inggris.
Ranieri yang selama bertahun-tahun selalu gagal
membawa timnya menjadi juara kini mampu membuktikan bahwa dirinya sanggup
mengantarkan tim semenjana seperti Leicester City menjadi juara Liga Inggris.
Padahal tim-tim yang sebelumnya ditangani pria Italia
ini tergolong lebih berpotensi membantunya mencapai ambisi meraih titel juara
Liga seperti Valencia, Chelsea dan Juventus.
Namun Leicester City yang pada awalnya tidak
difavoritkan justru menjadi buah karya pertama Ranieri yang berhasil
memenangkan titel juara Liga.
“Cobalah, cobalah segala cara, dan pahamilah bahwa
Anda bisa meyakini sesuatu," Ranieri memberikan petuah setelah Leicester
memastikan titel juara Liga Inggris.
Selamat Ranieri, selamat Leicester City.
Tulisan ini juga dimuat pada Harian Top Skor Edisi Senin 9 Mei 2016
analisis yang sangat renyah.
BalasHapus