Ketika Italia Kembali Menerapkan Catenaccio
“Tidak gampang melawan blok Juventus di lini pertahanan Italia” demikian komentar pelatih Belgia, Marc Wilmost usai Belgia ditaklukkan Italia 0-2 dalam laga perdana Grup E Piala Eropa 2016.
Ya, pertahanan Italia yang dihuni pemain-pemain
Juventus menjadi momok bagi Belgia.
Gianluigi Buffon, Chiellini, Bonucci dan Barzagli
adalah pilar pertahanan Juventus yang menjadi starter dalam formasi 3-5-2
Italia saat meladeni salahsatu favorit juara Piala Eropa, Belgia.
Sebelum laga dilangsungkan, Belgia yang sejarah
prestasinya di turnamen internasional masih kalah dari Italia diunggulkan
menang atas Buffon dkk.
Peringkat FIFA Belgia yang lebih baik dari Italia
serta sejumlah punggawa Belgia yang dipandang sebagai pemain kunci di klub
mereka mendasari prediksi tersebut.
Berbekal gelandang-gelandang berkelas Eropa seperti
Radja Nainggolan, Axel Witsel, Fellaini, Eden Hazard dan Kevin De Bruyne yang
dimainkan sebagai starter dalam formasi 4-2-3-1, Belgia memenangi penguasaan
bola sampai 59%.
Ketika Belgia masih saja kalah bahkan dengan skor 2-0,
Wilmost sudah menyebutkan kendala utama yang dihadapi Eden Hazard dkk.
“Italia secara spesifik bermain dengan mengandalkan serangan balik” Wilmost mengiyakan bahwa Italia memainkan sepakbola khas mereka, Catenaccio.
“Italia secara spesifik bermain dengan mengandalkan serangan balik” Wilmost mengiyakan bahwa Italia memainkan sepakbola khas mereka, Catenaccio.
Berbekal pertahanan yang kuat, dominasi Belgia
menjadi sia-sia saja.
Tidak hanya menjadikan Belgia tumpul, Italia juga
menjelma menjadi tim yang sangat efektif.
Dua buah gol Italia pada menit ke 32 dan menit ke 90
adalah pertunjukan efektivitas strategi Catenaccio yang diterapkan Conte.
Pun dengan percobaan tembakan ke gawang yang
dilakukan Italia sungguh menakjubkan.
Dengan permainan dikuasai Belgia, Italia masih mampu
melepaskan 9 tembakan dimana 7 mengarah ke gawang.
Bandingkan dengan Belgia yang mencatatkan 9 tembakan
namun hanya 3 yang mengarah ke gawang.
Akurasi tembakan punggawa Italia mencapai 78%
berbanding 33% yang dimiliki pemain-pemain Belgia.
Sangat efektif dan mematikan.
Kemenangan Italia atas tim kuat Belgia dengan bumbu
strategi bertahan yang diterapkan Conte membuka kembali kenangan indah saat
Italia berjaya dengan strategi Catenaccio.
Catenaccio sendiri berasal dari Bahasa Italia berarti
“kunci” sehingga dapat diartikan bahwa Catenaccio adalah strategi permainan
dengan pertahanan yang terorganisir dan efektif agar lawan kesulitan menyerang
atau mencetak gol.
Inilah yang dihadapi Belgia pada laga pertama mereka
di Piala Eropa 2016 dan berujung pada kekalahan.
Strategi yang mengusung pertahanan kuat ini memang
sudah menjadi trade mark sepakbola Italia walaupun ironisnya strategi ini
pertama kali diperkenalkan oleh seorang Argentina bernama Helenio Herrera.
Catenaccio ibarat jadi resep sukses Italia di turnamen
sepakbola internasional.
Perhatikan saat Italia menjuarai Piala Dunia 2006 Jerman
bersama Marcello Lippi atau saat terakhir kali Italia memenangkan turnamen
besar.
Kala itu Italia memainkan kembali Catenaccio dengan modal
kiper setangguh Buffon, bek kelas dunia Fabio Cannavaro dan Alessandro Nesta
yang kemudian cedera dan digantikan Marco Materazzi.
Duo bek tangguh tersebut diapit bek sayap energik
dalam diri Fabio Grosso dan Gianluca Zambrotta. Makin lengkap karena di depan
kuartet tersebut berdiri Andrea Pirlo dan Genarro Gattuso, duo pengatur dan
perusak tempo permainan.
Italia bermodalkan strategi Catenaccio menjuarai
Piala Dunia 2006 dengan hanya kebobolan 2 gol sepanjang turnamen.
Pengakuan akan ketangguhan pertahanan Italia
diresmikan dengan terpilihnya Gianluigi Buffon sebagai kiper terbaik dan Fabio
Cannavaro sebagai bek terbaik turnamen.
Berjodohnya Italia dengan strategi Catenaccio
terlihat pada gelaran Piala Eropa 2012.
Cesare Prancelli yang menukangi Italia “bikin heboh”
dengan memperlihatkan Italia yang bermain agresif menyerang.
Uniknya, saat itu Inggris menerapkan strategi
pertahanan yang mirip-mirip dengan Catenaccio.
Usai mengandaskan Jerman dengan skor 2-1 di
semifinal, Italia saat itu optimis akan memenangkan Piala Eropa dengan “gaya
baru sepakbola mereka”.
Sejarah kemudian menuliskan, Italia yang mencoba
bermain menyerang kalah dari Spanyol, Si Empunya strategi sepakbola menyerang bernama
Tiki Taka.
Tidak tanggung-tanggung, Italia dihajar telak 0-4.
Gagal juara, pencapaian Italia berbanding terbalik
dengan sukses di Piala Dunia 2006.
Strategi Catenaccio membuat Italia hanya kebobolan 2
gol sepanjang turnamen dan puncaknya memenangkan trofi Piala Dunia 2006.
Sebaliknya saat “mengkhianati” Catenaccio, Italia
kebobolan 7 gol sepanjang turnamen dan gagal memenangi Piala Eropa 2012.
Kini, berbekal punggawa Juventus di lini pertahanan,
sangat wajar jika Conte memprioritaskan strategi Catenaccio.
Kinerja trio BBC (Bonucci, Barzagli, Chiellini)
dengan Buffon di bawah mistar gawang sudah teruji mengantarkan Juventus
memenangkan double winner Scudetto dan Coppa Italy.
Semusim sebelumnya, berbekal pertahanan tangguh Juventus
bahkan melaju sampai ke final Liga Champions.
Dalam beberapa musim, Scudetto Juventus bahkan
dimenangkan dengan embel-embel sebagai tim dengan pertahanan terkuat.
Yang terakhir, musim ini gawang Buffon hanya kebobolan
20 gol dan jadi salahsatu kunci keberhasilan Juventus memenangi Scudetto lagi.
Nah dengan keberadaan pilar Juventus di lini
pertahanan, garansi pertahanan kuat sebagai kunci sukses penerapan Catenaccio
sudah ditangan Conte.
Pas bukan?
Komentar
Posting Komentar