Milan Memilih Bangkit Bersama Anak-Anak Muda
“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut
Semeru dari akarnya. Berikan aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”
Kutipan kata mutiara dari Bung Karno diatas mungkin
tidak pernah sampai ke telinga arsitek AC Milan, Vincenzo Montella.
Namun, performa I Rossoneri sampai pekan ke 9 Serie A
mempertontonkan makna di balik kata mutiara Bung Karno itu.
Mereka yang muda mempunyai potensi besar untuk
menghadirkan prestasi dan pencapaian fenomenal.
Kemenangan 1-0 Milan atas penguasa Liga Italia selama
5 musim beruntun, Juventus pada pekan ke 9 Serie A Italia mengantarkan mereka
hanya berjarak 2 poin dari puncak klasemen.
Secara psikologis, kemenangan atas Juventus juga
semakin meningkatkan mentalitas anak asuh Montella dalam mengarungi Serie A
Italia musim 2016/2017.
Bagaimana tidak, sebelum laga melawan Juve digelar,
AC Milan membawa catatan 12 pertemuan tidak pernah menang kala bersua dengan Si
Nyonya Tua.
Bisa dibayangkan euforia di kamar ganti Milan usai
kemenangan tersebut.
Montella secara spesifik bahkan menyadari bahwa kini
Milan bukan sekedar kuda hitam lagi dimata kontestan Serie A lainnya, tetapi
sudah memegang status sebagai salahsatu kontestan utama perebutan Scudetto
musim ini.
“Setelah menang lawan Juve dan berjarak hanya dua
poin dari puncak klasemen, lawan-lawan akan menghadapi kami dengan cara dan
tekanan yang berbeda” kata Montella.
Yap, Milan kini tengah menjalani periode positif yang
berpotensi mengantarkan mereka pada hasil positif di akhir musim.
Menariknya, pencapaian Milan saat ini dibangun diatas
pondasi tim yang didominasi pemain-pemain muda berusia dibawah 20 tahun, baru
menginjak umur 20 tahun awal dan sisanya adalah pemain yang berusia di bawah 30
tahun.
Kondisi ini terbilang kontradiktif dengan pemandangan
umum yang sering terlihat pada skuad Milan.
Masa keemasan Milan era tahun 2000-an ditandai dengan
komposisi pemain bintang yang sudah
matang disemua lini.
Carlo Ancelotti punya Dida, Maldini, Nesta, Pirlo,
Rui Costa, Seedorf, Inzaghi dan Shevchenko dalam deretan bintang utama The
Dream Teamnya.
Diluar itu, ada nama Costacurta, Cafu, Jaap Stam dan
Serginho sebagai perwakilan pemain berumur diatas 30 tahun yang jadi bagian
dari The Dream Team Milan.
Komposisi pemain bintang ini nyaris tidak banyak
mengalami perubahan di tangan Ancelotti meski beberapa diantara bintang-bintang
tersebut sudah menginjak usia diatas 30 tahun, usia dimana masa keemasan
pesepakbola umumnya sudah lewat.
Rasanya hanya Kaka pemain muda yang menonjol di masa
Ancelotti.
Tidak heran jika Milan kemudian identik sebagai tim
sukses berisikan pemain-pemain bintang yang sudah berumur.
Eksplositas pemain lawas seperti Cafu, Serginho dan Jaap
Stam di Milan membuka mata bahwa pemain-pemain berumur boleh jadi tidak secepat
dan segesit pemain muda, tetapi mereka sudah matang dengan pengalaman bermain
yang jadi senjata utama mereka.
Maka saat Milan ditinggal Ancelotti, kebijakan
merekrut pemain-pemain lawas terus dijalankan manajemen Milan.
Tercatat pemain-pemain yang dianggap sudah melewati
masa keemasan seperti Ronaldinho, David Beckham dan Ronaldo (bukan CR7 yah) sempat mampir di San
Siro.
Uniknya, Scudetto terakhir Milan pada 2011 justru
dimenangkan saat tim yang diasuh Allegri didominasi pemain-pemain kunci berusia
di bawah 30 tahun dan tengah menjalani masa keemasan seperti Zlatan
Ibrahimovic, Robinho dan Kevin Prince Boateng.
Scudetto 2011 Milan juga ditandai kehadiran
pemain-pemain muda potensial dalam diri Alexandre Pato dan Thiago Silva.
Adalah Nesta, Ambrosini dan Abbiati yang meneruskan
tradisi pemain kunci yang sudah berumur dalam tim tersebut.
Usai ditinggal Ibra dan Thiago Silva, Milan
perlahan-lahan terus menunjukkan performa menurun.
Sejak 2011, peringkat akhir Milan terus melorot.
Akhir musim 2011/2012 Milan di posisi 2, berikutnya
posisi 3, musim berikutnya posisi 8 dan terus melorot di akhir musim berikutnya
pada posisi 10.
Pencapaian musim lalu yang banyak didominasi era
kepelatihan Sinisa Mihajlovic sebenarnya sudah memberikan sinyal positif dengan
Milan mengakhiri musim di posisi 7.
Sinyal positif itulah yang diteruskan Montella musim
ini.
Ya, Mihajlovic boleh saja dipandang gagal memenuhi
ekspektasi manajamen Milan agar I Rossoneri setidaknya lolos ke kompetisi
Eropa, tetapi Mihajlovic meninggalkan warisan berharga bagi masa depan AC
Milan.
Miha menunjukkan jalan terbaik bagi Milan untuk
bangkit.
Jika sebelumnya Milan memegang teguh resep sukses
Ancelotti yang memilih memberdayakan pemain yang sudah matang bahkan dikategorikan
berumur, maka Milan kini memilih jalan
memberdayakan pemain-pemain muda.
Milan menyikapi keterbatasan dana transfer mereka dengan pemberdayaan potensi pemain muda yang ada alih-alih kembali mengambil kebijakan mencari pemain bintang yang sudah berumur atau berharga murah bahkan gratisan atau pinjaman.
Perhatikan komposisi skuad Milan saat ini.
Kiper utama mereka, Gianluigi Donnaruma bahkan belum
genap berumur 20 tahun (dan anak muda ini adalah peninggalan istimewa
Mihajlovic musim lalu).
Deretan bek utama Milan yang biasa dihuni Abate,
Romagnoli, Paletta, De Sciglio dan Antonelli hanya menyisakan Paletta sebagai
pemain yang sudah berumur 30 tahun saat Milan memulai musim ini.
Sisanya, pemain belakang Milan dihuni mereka yang
masih berusia dibawah 30 tahun (kebanyakan malah berusia di bawah 25 tahun).
Bintang utama mereka di lini belakang, Alessio
Romagnoli yang dijuluki sebagai The Next Alessandro Nesta bahkan baru berusia
21 tahun.
Lini tengah Milan sama revolusionernya dengan lini
belakang.
Hanya ada Ricardo Montolivo sebagai pemain yang
berumur 30 tahun keatas.
Pemain terdekat dengan Montolivo pada kriteria ini
adalah Keisuke Honda dan Jurac Kucka.
Sisanya, lini tengah Milan dihuni pemain dibawah umur
27 tahun alias pemain yang akan atau sedang memasuki masa keemasan mereka
sebagai pesepakbola.
Serunya, bintang baru Milan, Manuel Locatelli yang
menggantikan peran Montolivo dan mencetak gol kemenangan saat Milan menundukkan
Juve masih berumur 18 tahun alias (kalau
di Indonesia) baru lulus SMU!
Dominasi pemain muda dalam komposisi skuad Milan yang
terlihat menjanjikan sampai pekan ke 9 ini makin tidak terbantahkan jika
melihat lini depan Milan mengedepankan M’Baye Niang (21 tahun) dan Gianluca
Lapadula (26 tahun).
Catat, Carlos Bacca, pemain kunci lain di lini depan baru
berumur 30 tahun pada 8 September lalu.
Well, komposisi Milan yang didominasi pemain muda
sesungguhnya sejalan dengan konsep permainan yang diusung Montella.
“kami sedang mencoba menerapkan sepakbola ambisius
dan beresiko” ujar Montella merujuk pada gaya permainan menyerang yang
diterapkannya ke Milan.
Milan ala Montella mendorong permainan menyerang yang
dibangun lewat operan-operan dari lini pertahanan.
Model permainan seperti ini jelas beresiko.
Jika pemain kehilangan bola atau salah oper di area
pertahanan sendiri maka dalam sekejap tim akan mendapati situasi berada dalam
serangan lawan.
Meski disisi lain, pola permainan ini efektif untuk
membongkar pertahanan rapat yang diterapkan lawan.
Pola yang sangat cocok dengan profil anak-anak muda
di tubuh tim Milan saat ini.
Bukankah mereka yang masih berusia muda menyimpan
ambisi yang besar dan kerap berani (atau nekad) mengambil resiko?
Milan perlahan tapi pasti meninggalkan konsep
pemberdayaan pemain-pemain yang sudah matang dan berumur.
Milan sudah melupakan keinginan merekrut
pemain-pemain eks bintang dari klub lain dengan biaya transfer yang minim, berstatus
free transfer bahkan pinjaman.
Kedatangan pemain bintang sekelas Fernando Torres dan
kepulangan kembali Kaka yang kemudian gagal mengangkat tim mengajarkan Milan
bahwa cara lama mereka memberdayakan pemain-pemain matang yang sudah berumur tidak
efektif.
Dengan kondisi finansial yang tidak semewah dulu
lagi, Milan memilih untuk memberdayakan sumber daya
pemain apa adanya yang kebetulan didominasi pemain-pemain muda potensial dan
dikombinasikan pemain-pemain matang berumur yang belum bisa dikatakan lawas.
Milan kini memilih untuk bangkit bersama anak-anak
muda.Twitter@rizkimaheng
Komentar
Posting Komentar