Prediksi Final Euro 2016 - Siklus 12 Tahun Mengantarkan Portugal Jadi Raja Eropa

Hasil gambar untuk portugal euro 2016
Portugal dan Prancis akhirnya menjadi dua tim terakhir yang masih bertahan di turnamen sepakbola terbesar benua biru.
Keduanya akan melakoni laga puncak final Piala Eropa 2016.
Suka atau tidak suka, inilah dua tim yang paling mampu bertahan dan menaiki satu tangga lagi menuju trofi juara.
Ya, keduanya boleh jadi bukan tim terbaik turnamen seperti Italia yang mempesona lagi dengan Catenaccio, Jerman yang masih menunjukkan kualitas tim juara Piala Dunia 2014 atau Belgia yang hadir di Prancis sebagai tim dengan peringkat FIFA terbaik dari seluruh peserta plus deretan pemain bintang di semua lini.
Portugal dan Prancis adalah tim yang mampu melaju jauh sampai final karena kombinasi keberuntungan dan kualitas teknis.

Semua penikmat sepakbola boleh berpendapat bahwa Prancis sejak awal banyak diuntungkan dalam turnamen ini.
Status mereka sebagai tuan rumah membuat Giroud dkk mendapat suntikan semangat dari supporter tuan rumah sebagai pemain ke 12.
Belum lagi mempertimbangkan fakta bahwa dua gelar juara terakhir Prancis di Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998 terjadi kala mereka berstatus tuan rumah.
Pun dengan undian fase grup yang menempatkan Les Bleus di grup yang tergolong sangat ringan.
Prancis berada di grup yang hanya berisikan Albania, Swiss dan Rumania, tim-tim yang diatas kertas mudah untuk ditaklukkan.
Sesuai prediksi, Prancis melalui fase grup dengan baik sebagai juara grup.
Ketika turnamen berlanjut ke fase gugur, Prancis mendapati lawan yang terbilang mudah bahkan saat mereka berada di bagan undian berat yang berisi Spanyol, Italia, Jerman dan Inggris.
Prancis “hanya” menghadapi Irlandia di babak 16 besar dan kemudian secara mengejutkan “terhindar” dari Inggris dan mendapati Islandia di babak perempat final.
Ujian sesungguhnya bagi Prancis baru hadir saat bersua juara Piala Dunia 2014 Jerman di semifinal.
Benar saja, untuk pertama kalinya sepanjang turnamen Prancis tidak mampu menguasai permainan.
Jerman benar-benar menjadi lawan tangguh yang mendominasi mereka.
Disinilah takdir berbicara untuk Prancis.
Meski ditekan sedemikian rupa, anak asuh Didier Deschamps memenangi laga dengan skor 2-0.
“kami sudah menampilkan permain terbaik kami tapi tetap saja kalah” kata Toni Kroos usai laga.
Ya, bahkan penampilan terbaik Jerman sendiri tidak bisa menyingkirkan tuan rumah dari turnamen di negara mereka sendiri.
Tuah magis sebagai tuan rumah terjadi lagi untuk Prancis?
Nanti dulu.

Berbicara soal keberuntungan, adalah Portugal yang bisa dikatakan sebagai tim paling dinaungi keberuntungan.
Melihat perjalanan anak asuh Fernando Santos sampai ke laga puncak, terlihat benang merah keberuntungan yang melekat pada CR7 dkk.
Berada di grup yang terbilang ringan bersama Islandia, Austria dan Hongaria, Portugal justru hanya lolos sebagai tim peringkat tiga terbaik.
Ironisnya, runner up Piala Eropa 2004 itu bahkan tidak pernah memenangkan laga dan terus memetik hasil imbang di fase grup.
Kritik mulai mengalir deras, Portugal dianggap tidak pantas menjadi salahsatu tim unggulan turnamen.
Status peringkat ketiga terbaik kemudian menempatkan Portugal di bagan undian yang terbilang ringan karena hanya berisikan Polandia, Wales, Kroasia, Irlandia Utara, Hongaria dan Belgia.
Praktis di bagan ini, CR7 dkk justru menjadi “tim unggulan” bersama Belgia.
Portugal sendiri mendapatkan Kroasia sebagai lawan mereka di babak 16 besar.
Suatu keberuntungan bukan?

Bayangkan jika Portugal menjadi juara grup, mereka akan berhadapan dengan Belgia, tim dengan peringkat FIFA terbaik di turnamen ini.
Atau pun jika lolos sebagai runner up grup, Portugal bahkan harus meladeni Inggris.
Sampai disini terlihat bahwa “ketidakmampuan” Portugal memenangi laga di fase grup adalah jalan takdir mereka untuk menemui anak tangga yang lebih ringan ke fase-fase selanjutnya.
Keberuntungan makin akrab dengan Portugal ketika menaklukkan Kroasia di babak 16 besar.
Kroasia, tim yang menundukkan juara bertahan Spanyol sejatinya memenangi permainan tapi tidak pada hasil akhirnya.
Mendominasi sepanjang laga, Luka Modric dkk disingkirkan oleh satu gol Ricardo Quaresma jelang babak perpanjangan waktu berakhir.
Portugal kembali mementaskan skenario yang sama di fase perempat final.
Meski diatas kertas seharusnya bisa melewati Polandia dengan mudah, anak asuh Fernando Santos membutuhkan drama adu penalty untuk menyingkirkan Lewandowski dkk.
Sederhananya, sampai semifinal tim ini tidak sekalipun menang di waktu normal.
Disinilah letak keberuntungan Portugal.

Orang-orang boleh mengatakan bahwa Portugal tidak lebih baik daripada Kroasia, Belgia atau Wales, tim-tim yang berada pada bagan “ringan” undian fase gugur Piala Eropa 2016.
Faktanya tim ini mampu terus melaju sampai ke laga puncak.
Serunya lagi, perjalanan Portugal juga berbicara bahwa tim ini bukan soal keberuntungan semata.
Ada perpaduan kualitas teknis di tim ini.
Saat CR7 off, masih ada Luis Nani, Ricardo Quaresma dan Renato yang mengisi peran vital sang kapten.
Quaresma menunjukkannya di babak 16 besar, lalu Renato di fase perempat final dan Luis Nani memperlihatkannya bersama CR7 di fase semifinal.
Ketiadaan William Carvalho dan Pepe saat laga semifinal juga mampu ditutup dengan baik oleh Danillo dan Bruno Alves.
Kemenangan perdana 2-0 di waktu normal saat menyingkirkan Wales menjustifikasi bahwa tim ini punya segala modal yang dibutuhkan untuk bertarung di partai final.
CR7 dkk punya modal teknis dan keberuntungan.
Pertanyaannya, sanggupkah modal itu menghentikan tuan rumah di partai final?

Modal teknis Portugal dan Prancis sejatinya bisa dikatakan nyaris berimbang.
Di lini pertahanan kedua tim punya nama besar sekelas Pepe dan Laurent Koscielny, meski Prancis bisa dikatakan sedikit lebih baik karena Koscielny punya rekan-rekan yang sudah teruji seperti Patrice Evra dan Bacary Sagna.
Di lini tengah, Prancis bisa dikatakan memiliki kualitas yang lebih mewah dengan keberadaan Paul Pogba, Matuidi, Payet, Kante dan Sissoko.
Portugal?
Mereka punya Willian Carvalho atau Danillo, Ricardo Quaresma, Renato, Joao Mario dan Joao Moutinho.
Nama-nama ini jelas belum sefamiliar nama-nama di kubu Prancis, namun kegemilangan performa mereka yang mengantar Portugal ke partai final cukup jadi indikasi bahwa kualitas mereka layak diadu.
Keliatan kalah mengkilap di lini belakang dan tengah, Portugal unjuk kemewahan di lini depan karena factor sang kapten, pemain terbaik dunia, CR7.
   Hasil gambar untuk cristiano ronaldo euro 2016
Bersama Luis Nani, pemain yang sempat dianggap sebagai kloningan CR7 di Manchester United (MU), keduanya menjadi pion strategi Fernando Santos yang memilih menempatkan keduanya sebagai duet penyerang dalam formasi 4-4-2.
Inilah salahsatu terobosan taktik Fernando Santos yang berseberangan dengan pelatih-pelatih Portugal sebelumnya.
Pendahulu Fernando Santos kerap memainkan formasi 4-3-3 atau 4-2-3-1 untuk memaksimalkan Nani dan CR7 sebagai penyerang sayap.
Di tangan Santos, alih-alih memainkan Nani dan CR7 di sisi penyerangan sayap, sang juru taktik malah menduetkan keduanya sebagai penyerang tengah dimana CR7 diberi kebebasan bergerak kemana saja dan Luis Nani cenderung bergerak di belakang sang kapten.
Pilihan taktik ini membuat Portugal seakan-akan bermain tanpa striker dan memaksimalkan keberadaan 6 gelandang diatas lapangan.
Duet Nani dan CR7 sebagai gelandang atau penyerang sayap yang bertransformasi menjadi penyerang tengah sejauh ini berjalan sangat baik.
Kecepatan Nani dan CR7 membuat Santos leluasa menerapkan garis pertahanan rendah untuk menyerap serangan lawan dan melakukan serangan balik cepat memanfaatkan kecepatan lari kedua mantan pemain MU itu.

Jika Portugal punya strategi unik di lini penyerangan, pun demikian dengan Prancis.
Keputusan Deschamps memindahkan posisi Griezmann dari penyerang sayap menjadi penyerang di belakang Olivier Giroud berbuah manis.
Griezmann serasa bermain dengan strategi yang sama di Atletico Madrid kala dirinya berduet di belakang Fernando Torres.
Hasilnya, pemain bernomor punggung 7 itu memuncaki daftar pencetak gol terbanyak turnamen dan menjadi pahlawan Prancis kala menyingkirkan Irlandia dan Jerman.
Pilihan Deschamps untuk memainkan pola 4-2-3-1 meninggalkan formasi 4-3-3 kala melawan Rumania di laga pembuka juga membuat peran Giroud lebih terlihat.
Penyerang Arsenal itu sudah mencetak 3 gol dan beberapa kali mampu menjadi tembok pemantul bola bagi Griezmann yang datang menusuk di belakangnya.
Portugal dan Prancis sama-sama punya strategi jitu untuk saling mengalahkan.
Kedua tim juga sama-sama punya modal keberuntungan seperti yang sudah diulas diatas.
Prancis mendapati fase grup, babak 16 besar dan perempat final yang “mudah” dan kemudian berhasil melewati ujian berat bernama Jerman.
Portugal mampu lolos sampai semifinal meski tidak pernah menang (juga tidak pernah kalah) di waktu normal, berada di bagan undian fase gugur yang relative ringan dan melaluinya dengan kemenangan di perpanjangan waktu serta babak adu penalty lalu memecahkan kebuntuan gagal menang di waktu normal kala menekuk Wales 2-0 di semifinal.

Well, jika Portugal dan Prancis sama-sama berbekal keberuntungan dan kualitas teknis, keduanya juga memiliki modal sejarah ditangan masing-masing.
Dan disinilah factor kunci yang menjadi pembeda hasil akhir laga nanti.
Seperti yang sudah banyak dibahas, Prancis memiliki sejarah memenangi turnamen besar ketika bertatus tuan rumah.
Piala Eropa 1984 dan Piala Dunia 1998 adalah buktinya.
Namun yang jarang diangkat (mungkin karena jarak waktu yang jauh kebelakang), Prancis juga pernah gagal kala berstatus tuan rumah turnamen besar.
Adalah Piala Dunia 1938 dan Piala Eropa 1960 menjadi catatan sejarah buruk kala Prancis menjadi tuan rumah dan gagal menjadi juara.  
Artinya factor sejarah Prancis sebagai tuan rumah punya potensi untuk digagalkan.

Bagaimana dengan Portugal?
Sejak Denmark mengejutkan dunia dengan keberhasilan mereka memenangi Piala Eropa 1992, turnamen ini punya siklus 12 tahunan untuk memunculkan juara baru.
Tengok catatan sejarah ketika Denmark menjuarai Piala Eropa 1992, 12 tahun kemudian pada Piala Eropa 2004 Yunani mencatatkan nama mereka sebagai juara baru Piala Eropa.
Kini di Piala Eropa 2016, semua factor sejarah lebih condong untuk memenangkan Portugal.
Runner up Piala Eropa 2004 itu akan menghadapi tuan rumah Prancis saat siklus 12 tahunan tiba.
Mungkin ini pula yang jadi penjelasan mengapa Portugal bisa tetap melaju sampai ke partai puncak meski permainan mereka tidak mengagumkan bagi banyak orang.
Lagipula, CR7 dan Antoine Griezmann yang jadi bintang utama di kedua team sudah mementaskan “laga pemanasan” di final Liga Champions 2016 yang kemudian dimenangkan CR7.
Saatnya Portugal menjadi juara baru Piala Eropa.
Twitter@rizkimaheng

Komentar